Rabu, 20 Juli 2011

KEHILANGAN

Rosululloh SAW pernah berpesan: CINTAILAH KEKASIHMU BIASA SAJA (JANGAN KETERLALUAN) DAN BENCILAH MUSUHMU BIASA SAJA.
Ternyata bila pesan rosul ini kita terapkan kita akan menjadi manusia yang tidak terlalu kaget apabila sewaktu-waktu perubahan terjadi dalam hidup kitasecara mendadak......

Kamis, 09 September 2010

Rerncana Kerja Tahunan

RENCANA KERJA TAHUNAN SEKOLAH



SD ISLAM HASYIM ASY’ARI
KEC. WONODADI KAB. BLITAR
TAHUN 2010-2011



















DISUSUN OLEH
KELOMPOK KERJA
RENCANA KERJA TAHUNAN SEKOLAH





LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NU
HASYIM ASY’ARI
KECAMATAN WONODADI KABUPATEN BLITAR
2010



LEMBAR PENGESAHAN







Wonodadi , Juli 2010






Ketua Komite Kepala Sekolah





......................................... ZAENAL ABIDIN, SS. SPd.









Diketahui dan Disetujui
PENGURUS LEMBAGA PENDIDIKAN HASYIM ASY’ARI





H. AHMAD SYA’RONI





K A TA P E N G A N T A R

Bismillaahirrahmmaanirrahiim,

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa berkat Rahmat dan Hidayahnya Tim Kelompok Kerja Rencana Kerja Tahunan Sekolah dapat menyelesaikan penyusunannya.
Rencana Kerja Tahunan Sekolah (RKTS) adalah suatu rencana Kerja sekolah yang dibuat antara pihak sekolah bersama komite sekolah yang bertujuan untuk memfasilitasi, menjembatani dan melengkapi yang di dalamnya membahas tentang rencana/program kerja tahunan sekolah, anggaran biaya dalam satu tahun tantangan suatu sekolah dalam mengembangkan mutunya dalam hal pembelajaran serta didalamnya dapat menunjang sarana dan prasarana sekolah.
RKTS ini disusun sebagai acuan dalam mempermudah evaluasi kerja Kepala Sekolah dalam satu tahun serta dapat dijadikan acuan dalam kegiatan sekolah.
RKTS ini, diharapkan menjadi RENSTRA sekolah jangka pendek untuk menunjang pencapaian mutu pembelajaran, serta peran komite bagi sekolah.




Wonodadi , Juli 2010
Kepala Sekolah



ZAENAL ABIDIN, SS. SPd.









DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB. I PENDAHUALAN
A. Tujuan dan mafaat RKTS
B. Landasan Hukum

BAB. II PROGRAM/KEGIATAN STRATEGIS
A. Visi Sekolah
B. Misi Sekolah
C. Tujuan Sekolah

BAB. III PROGRAM/KEGIATAN STRATEGIS
A. Sasaran
B. Program
C. Indikator Keberhasilan
D. Kegiatan
E. Penanggung Jawab

BAB. IV PROGRAM/KEGIATAN OPERASIONAL
A. Sasaran
B. Program
C. Indikator Keberhasilan
D. Kegiatan
E. Penanggung Jawab

BAB. V . JADWAL PROGRAM /KEGIATAN TAHUNAN

BAB. VI. RENCANA KEGIATAN DAN ANGGARAN SEKOLAH

BAB. VII. PENUTUP
Kesimpulan
Lampiran-lampiran

BAB I

P E N D A H U L U A N


A. TUJUAN DAN MANFAAT RKTS

Kita sadari bersama bahwa untuk mencapai hasil pendidikan yang baik diperlukan pengelolaan yang serus. Agar pengelolaan lembaga pendidikan ( Sekolah Dasar ) dapat berjalan dengan baik , maka perlu disusun Rencana Kerja Tahunan Sekolah (RKTS), yang tujuan dan anfaatnya adalah :

1. Sebagai petunjuk dan acuan kerja dewan sekolah
2. Sebagai pedoman oprasional sekolah
3. Untuk memfasilitasi aspirasi masyarakat
4. Sebagai alat evaluasi


B. LANDASAN HUKUM

Rencana Kerja Tahunan Sekolah (RKTS) adalah pedoman sekolah dalam menyusun program tahunan yang mana landasan hukumnya sebagai berikut :

1. Undang – undan No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 8 dan pasal 48

2. Peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 49 dan pasal 53

3. Permendiknas No.19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan pendidikan dalam Angka 4a poin 1 dan 2

4. Kepmendiknas 129 a Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan dalam 3.1





















BAB II
VISI,MISI DAN TUJUAN

Visi dan Misi adalah tujuan yang hendak di capai oleh sekolah baik sekarang maupun yang akan datang.

A. VISI SEKOLAH :
“TAMAN SANTRI”
Bertaqwa Dan Beriman, Menguasai Pengetahuan Dan Teknologi, Terampil, Kreatif, Inovatif dan Berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik.

B. MISI SEKOLAH :
1. Menumbuhkan penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Agama dan Budaya Bangsa serta aplikasinya dalam kehidupan nyata
2. Menumbuhkan semangat keunggulan kepada semua warga sekolah
3. Menumbuhkan pribadi yang mandiri dan bertanggungjawab terhadap tugas
4. Menumbuhkan semangat kepedulian lingkungan sosial, fisik dan cultural
5. Mengembangkan potensi dan kreativitas warga sekolah yang unggul dan mampu bersaing.
6. Menumbuhkan kebiasaan membaca, menulis, dan menghasilkan karya tulis
7. Menerapkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam proses pembelajaran dan pengelolaan sekolah
8. Melengkapi sarana dan prasarana pendukung pelajaran.
9. Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan lembaga terkait


C. TUJUAN :
1. Tercapainya implementasi Kurikulum KTSP dan pengembangan diri
2. Tercapainya peningkatan penggunaan model-model pembelajaran diluar KBM
3. Tercapainya peningkatan keterampilan menggunakan media Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
4. Tercapainya peningkatan kemampuan guru menyusun silabus dan alat penilaian
5. Tercapainya peningkatan perolehan rata-rata ujian akhir nasional
6. Tercapainya peningkatan kedisiplinan dan ketertiban siswa
7. Tercapainya peningkatan kuantitas dan kwalitas fasilitas / sarana dilingkungan sekolah.
8. Tercapainya peningkatan jumlah lulusan yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya melalui jalur PMDK dan SMPB.
9. Tercapainya internalisasi akhlak dan budaya tatakrama kepada warga sekolah khisusnya siswa.
10. Tercapanya Peningkatan kerjasama dengan orangtua, masyarakat sekitar dan institusi lain.
11. Tercapainya pengembangan kwalitas siswa dalam olimpiade mapel, seni, olahraga, sosial dan beragama.
12. Terwujudnya lulusan lulusan yang ber-IMTAQ, menguasai IPTEK, mampu bersaing di era global serta terwujudnya pengembangan kreativitas siswa, keilmuan, seni, sosial, olahraga dan keagamaan.
13. Terlaksananya pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, menyenangkan dan bermakna.
14. Terwujudnya budaya belajar, membaca dan menulis
15. Tercapainya Pengembangan ICT
16. Terwujudnya manajemen sekolah yang partisipatif, transparan dan akuntabel.
17. Terwujudnya budaya jujur, ikhlas, sapa, senyum dan santun.
18. Terciptanya budaya disiplin, demokratis dan beretos kerja tinggi.
19. Terwujudnya hubungan yang harmonis antarwarga sekolah.
20. Terwujudnya pelayanan yang cepat, tepat dan memuaskan kepada masyarakat.
21. Terwujudnya kerjasama yang saling , menguntungkan dengan instansi lain.
22. Tercapainya Layanan Kesehatan Sekolah yang memadai
BAB III

PROGRAM / KEGIATAN STRATEGIS


Rencana kerja tahunan sekolah yang memuat Program Kegiatan Strategis tahun 2008-2009 yang terdiri dari Sasaran, Program , Indikator keberhasilan , Kegiatan ,dan Penanggungjawab.Maka dengan ini kami Tim Penyusun memformulasikannya Sebagai Berikut :

A. S A S A R A N

Dari sejumlah tantangan yang dirumuskan pada bab II maka dalam program Kegiatan sekolah selanjutnya akan ditetapkan beberapa sasaran, yaitu sebagai berikut :
1. Peningkatan Nilai Semua Mata Pelajaran
2. Peningkatan Profesionalisme guru
3. Penambahan Sarana Dan Prasarana
4. Pembelajaran Berbasis Multimedia
5. Terwujudmya Kerjasama Yang Harmonis Antar Guru Dan Orang Tua Siswa.

B. P R O G R A M

Dari sasaran yang dirumuskan diatas maka program sekolah yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1. Program peningkatan mutu siswa melalui Kegiatan kompetensi guru (pelatihan)
2. Peningkatan kualitas mutu guru ( pegadaan komputer di ruang guru)
3. Peningkatan Sarana Pembelajaran ( pembelajaran berbasisi multimedia)
4. Sarana dan Prasarana ( perpustakaan)
5. Peran Serta Masyarakat ( pemberdayaan komite )


C. INDIKATOR KEBERHASILAN

1. Guru yang dilatih, semuanya memiliki kompetensi profesional dibidang masing-masing.
2. Peningkatan nilai rata-rata dari semua mata pelajaran
3. Terwujudnya pembelajaran berbasis multimedia
4. Komite sekolah yang solid dan mendukung program sekolah


D. K E G I A T A N

Dari indikator keberhasilan yang telah dirumuskan di atas maka kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh sekolah mencakup :
1. Pelatihan Profesionalisme Guru
2. Membuat Proposal Pengadaan Komputer
3. Membuat Proposal Pengadaan Pembelajaran Berbasis Multimedia
4. Membuat Proposal Pengadaan Perpustakaan
5. Re-Organisasi Komite

E. Penanggung jawab Program

Program Penanggung jawab
1. Pengembangan profesionalisme guru Kepala Sekolah dan Guru
2. Pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran Kepala Sekolah dan Co. kurikulum
3. Pembelajaran berbasis multimedia Kepala Sekolah, Co. ICT
4. Menumbuhkan kebiasaan membaca, menulis, dan menghasilkan karya tulis Kepala sekolah dan Co. perpus.
5. Pemberdayaan komite Kepala sekolah, komite













BAB IV

PROGRAM / KEGIATAN OPERASIONAL


Program kegiatan yang secara kontinu di lakukan sekolah berdasarkan kebutuhan tahunan dalam rangka meningkatakan kualiatas pendidikan dilingkungan sendiri.untuk itu kami uraikan sebagai berikut :



Sasaran Program Kegiatan Indikator Keberhasilan Penanggung jawab
Guru-guru serta kepala sekolah 1. Program Kegiatan Kompetensi Profesional Guru Pelatihan serta pemanfaatan KKG untuk meningkatkan kualitas guru. Semua guru mendapat pelatihan, 10 guru mengikuti KKG. Kepala Sekolah & Guru
Siswa dan Lulusan yang berkualitas 2. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Penggunaan Metoda Pembelajaran Yang Variatif ( PAIKEM), Semakin rendah siswa tinggal Kelas,Nilai UASBN meningkat Kepala Sekolah & Guru
Peningkatan kualitas guru 3. Peningkatan Sarana dan Prasarana (penambahan computer) Membuat Proposal penambahan computer. Semua guru mempunyai perangkat pembeljaran yang lengkap ( RPP dll) Kepala Sekolah & Guru
Peningkatan mutu siswa 4. Pembelajaran berbasis multimedia Membuat proposal pengadaan pembeljaran bebasis multimedia. Diterimanya siswa di sekolah-sekolah yang berkualitas unggul. Kepala Sekolah & Guru
Kepedulian masyarakat terhadap pendidikan semakin tinggi 5. Meningkatkan peran serta masyarakat dan komite sekolah Rapat orang tua siswa dengan komite sekolah yang teragendakan secara kontinu Banyaknya tawaran dari orang tua untuk membantu kegiatan di sekolah Kepala Sekolah & Guru serta Komite Sekolah









Penanggung Jawab Program

Program Penanggung jawab
1. Program Kegiatan Kompetensi Profesional Guru Kepala Sekolah
2. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kepala Sekolah dan CO. Kurikulum , Komite
3. Peningkatan Sarana dan Prasarana (penambahan computer) Pengurus, Kepala Sekolah ,dan Komite
4. Pembelajaran berbasis multimedia Pengurus, Kepala Sekolah ,dan Komite
5. Meningkatkan peran serta masyarakat dan komite sekolah Kepala Sekolah dan Komite
























BAB V

JADWAL PROGRAM / KEGIATAN TAHUNAN


Jadwal kegiatan program ini akan efektif apabila semua komponen yang terlibat dalam bidang pendidikan ikut sesuai dengan kapasitas masing – masing .

P R O G R A M 2010/2011
Semester I Semester II
Program Kegiatan Kompetensi Profesional Guru
1. Pelatihan kompetensi profesional guru 
2. Pelatihan guru penerapan PAKEM 
3. Pelatihan guru penguasaan metode pembelajaran 
4. Pelatihan guru pembuatan RPP 
5. Pelatihan assesmen ( penilaian ) bagi guru 
6. Pelatihan guru pembuatan PTK 
7. Pelatihan pembuatan media pembelajaran. 
8. Pelatihan terampil komputer untuk guru  
Peningkatan Kualitas Pembelajaran
9. Pembinaan guru oleh kepala sekolah dan pengawas tentang metoda pembelajaran dari kelas I s/d VI  
10. Pembinaan guru dalam penguasaan materi Evaluasi dari kelas I s/d VI di KKG  
11. Kunjungan kelas dan adanya kalender jadwal kunjungan yang tetap  
Peningkatan Sarana dan Prasarana
12. Penambahan komputer 
13. Pembelajaran berbasis multimedia 
Meningkatkan peran serta masyarakat dan komite sekolah
14. Re-oraganisasi komite 
15. Pemberdayaan komite  







BAB VI

RENCANA KEGIATAN DAN ANGGARAN SEKOLAH (RKAS)

Rencana ini memuat anggaran secar garis besar dan mudah untuk di baca oleh stoholder pendidikan dalam upaya mengetahui berapa kekurangan dana yang dibutuhkan.
Pendapatan Belanja
No Uraian Jumlah No Uraian Jumlah
1 Bantuan+IURAN I Program Kegiatan
1.1 BOS 67.490.000 1. Pelatihan
1.2 SPP 122.400.000 2. Pengadaan Buku
1.3 Dana Sosial 3.400.000 3. Pembangunan RKB
1.4 Pengembangan siswa 17.000.000 4. Pengadaan Moubiler
1.5. Komputer 20.400.000 5.
Jumlah
II Dana Komite : II Belanja Barang & Jasa
Bantuan Masyarakat 1. Belanja Pegawai 142.776.000
2. Belanja Barang
3. Langganan Daya & Jasa 4.440.000
Jumlah
III Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM)
1. Evaluasi
2. Kegiatan Rapat
3. Biaya Perjalanan Dinas
4. Belanja Pemeliharaan
5. Perayaan Hari Besar
III Lain-lain Jumlah
Donatur
Jumlah Jumlah


Blitar, Juli 2010

Kepala Sekolah




ZAENAL ABIDIN, SS. SPd.

Rincian Penggunaan Dana dalam 1 (Satu) Tahun

No. Program Kegiatan dan Operasional Satuan Total 1 Tahun
Vol Jumlah Biaya
A Program / Kegiatan
1. Pelatihan
1.1 Pelatihan kompetensi profesional guru 20.000 15 300.000
1.2 Pelatihan guru penerapan PAKEM 20.000 15 300.000
1.3 Pelatihan guru penguasaan metode pembelajaran 20.000 15 300.000
1.4 Pelatihan guru pembuatan RPP 20.000 15 300.000
1.5 Pelatihan assesmen ( penilaian ) bagi guru 20.000 15 300.000
1.6 Pelatihan guru pembuatan PTK 20.000 15 300.000
1.7 Pelatihan pembuatan media pembelajaran. 20.000 15 300.000
1.8 Pelatihan terampil komputer untuk guru 20.000 15 300.000
Total 2.100.000

2 Pengadaan Buku Teks
2.1 Matematika
2.2 Bahasa Indonesia
2.3 IPA
2.4 IPS
2.5 PPKn
dll

Total
3 Rehabilitasi Ruang Kelas
3.1 Ruang Kelas Baru
3.2 Rehab Sedang
3.1 Kursi meja murid
Total
B Kegiatan Operasional
1 Belanja Pegawai
1.1 Pegawai Tetap
1.2 Pegawai Tidak Tetap
Total

2 Belanja Barang/Jasa
2.1 Belanja ATK
2.2 Bahan Habis Pakai
Total

2.3 Langganan Daya dan Jasa
2.3.1 Listrik
2.3.2 Air
2.3.3 Telepon
Total


No Program /Kegiatan dan Oprasional Satuan Total 1 Tahun
Volume Jumlah Biaya
2.4 KBM
2.4.1 Tes Semester
2.4.2 UAS/UAN
2.4.3 Bimbel
Total
2.5 Kegiatan Rapat
2.5.1 Rapat Pembinaan
2.5.2 Rapat Semester
2.5.3 Rapat UN/US
2.5.4 Rapat Komite Sekolah
Total
2.6 PHBN / PHBI
2.6.1 Hardiknas
2.6.2 HUT RI
2.6.3 Hari Besar Lain
Total
Total

3 Biaya Perjalan Dinas
Total
4 Belanja Pemeliharaan
4.1 Pengecatan
4.2 Perbaikan Pintu (Jendela)
4.3 Perbaikan Atap Lantai
4.4 Perbaikan WC
4.5 Perbaikan Pagar Halaman
4.6 Pemeliharaan Taman
4.7 Pemeliharaan Komputer
Total

Total Program Kegiatan
Total Kegiatan Operasional
Total Keseluruhan


Perhitungan Surplus

PERHITUNGAN SURPLUS / DEFISIT DANA TUNAI : 2010/ 2011
Total Dana Yang Akan Diterima
Total Biaya Yang Akan Dikeluarkan (1)
Surplus (Defisit) Dana Tunai





BAB VI

P E N U T U P



Kesimpulan


Rencana Kerja Tahunan Sekolah ( RKTS ) SDI Hasyim Asy’ari kecamatan Wonodadi Kabupaten Blitar telah selesai disusun oleh Tim Kelompok Kerja RKTS, tentunya apa yang ada di dalamnya akan menjadi acuan sekolah untuk melangkah dalam rangka : 1. Peningkatan kualitas pembelajaran, 2. Meningkatkan jumlah siswa, 3. Melengkapi alat peraga dan media pembelajaran,4.. Meningkatkan kesejahtraan guru, 4. Menambah kekurangan sarana dan prasarana, 5. Meningkatkan peran serta Komite sekolah.
Semoga semua yang direncanakan ini mendapat dukungan dari semua pihak yang terkait serta mendapat lindungan dari Allah SWT. Aamiin

Sabtu, 15 Mei 2010

MENYOSONG MASA DEPAN


Ada 3 pertanyaan yang menggangu pukiran saya akhir-akhir ini yang sampai sekarang masih belum ketemu jawabannya. dimana kita berada, kemana kita akan pergi, bagaimana cara pergi kesana.
sebelum kita mengetahui dimana kita berada tentu kita akan sulit untuk memustuskan kemana kita akan pergi. maka sebelum kita menentukan tujuan kita tentu kita harus benar-benar tahu posisi kita berada dimana. baru kita dapat menentukan kemana arah kita selanjutnya.
setelah kita menentukan kerah mana kita akan menuju. baru kita berpikir lagi bagaimana kita menuju kesana.
semoga menjadi perenungan PLAN YOUR WORK ANN WORK YOUR PLANNING

Kamis, 04 Maret 2010

GOMBAL

GOMBAL
Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si.


Di setiap ma­sya­ra­kat penutur ba­hasa, selalu ada ung­kapan lokal atau prokem lokal yang disebut slank. Makna kata atau ungkapan yang tergolong prokem atau slank sering tidak ditemukan di kamus sehingga orang lain yang bukan penutur asli bahasa itu mengalami kesulitan me­ma­hami maknanya. Dalam bahasa Jawa, misalnya, terdapat banyak prokem, seperti weleh-weleh, ndasmu, deng­kul­mu, gombal dan se­ba­gainya. Bagi bukan pe­nutur bahasa Jawa, apalagi orang asing, kata-kata itu sangat sulit di­pahami maknanya.

Suatu ketika dalam sebuah acara seminar, saya bertemu dengan seorang teman asing, sebut saja Mr. Karen, yang sudah hampir dua tahun tinggal di Yogyakarta. Mr. Karen yang sudah mulai fasih berbahasa Indonesia ini bingung bukan kepalang setiap mendengar kata gombal yang diucapkan orang di sekelilingnya. Di­ban­ding dengan orang asing (baca: Barat) pada umumnya, Mr. Karen ini memang tergolong agak pemalu, mungkin karena ia tinggal di Yogyakarta, se­hingga ia lebih suka berusaha sendiri mencari makna kata yang ia tidak mengerti mak­na­nya melalui kamus ketimbang ber­tanya kepada seorang kawan atau kolega.

Mengapa ia lebih suka mencari sendiri makna kata? Sebab, menurutnya, ketika baru saja tiba di Indonesia, ia per­nah ditipu oleh seorang kawan kenalan barunya ketika ia bertanya apa makna kata gendheng (gila). Si kawannya yang usil itu, menerangkan bahwa gendheng adalah ungkapan santun yang mesti di­ucapkan kepada setiap orang yang lebih tua dan di­hor­mati. Kata gendheng di­go­longkan sama maknanya dengan kata baik dan bagus. Apalagi bagi orang asing yang baru saja tiba di Indonesia, kata gendheng itu wajib di­ucap­kan kepada setiap orang yang ditemui. Mr. Karen yang polos itu menuruti saja anjuran kawan yang beretnis Jawa itu. Suatu saat, Mr. Karen hampir di­tem­pe­leng oleh seorang pengojek ka­rena mengatakan “Terima­kasih. Kamu gendheng sekali pak” . Untung si tukang ojek se­gera me­nyadari bahwa Mr. Karen bukan orang Jawa. Sejak saat itu, ia tidak pernah ber­tanya kepada orang lain makna kata yang ia tidak me­nger­ti.

Pertemuan saya dengan Mr. Karen membuktikan sikapnya yang tidak mau bertanya ke­pada orang lain mengenai arti se­buah ungkapan atau kata yang baginya asing. Dalam obro­lan ringan sambil me­nunggu kedatangan seorang pem­bicara sebuah seminar, kata gombal muncul bebe­rapa kali. Mr. Karen itu pun men­catat tidak kurang dari 16 kali kata gombal itu diucapkan oleh peserta obrolan. Merasa semakin penasaran apa makna kata gombal, Mr. Karen minta ijin keluar dari forum obrolan itu dan menuju perpustakaan universitas yang kebetulan hanya berjarak be­berapa meter saja dari tempat me­ngobrol. Saya bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Mr. Karen. Ia menuju rak tempat kamus dan ensiklopedi disimpan untuk membuka kamus dan mencari makna kata gombal.

Ketika berada di depan rak kamus dan ensiklopedi, se­orang petugas terlihat meng­ham­pirinya. Petugas per­pus­ta­kaan dengan ramah menyapa dan bertanya apa yang dapat ia bantu. Mr. Karen menjawab bahwa ia perlu kamus bahasa Jawa yang letaknya memang agak jauh dari kamus bahasa Indo­nesia. Dengan terkejut, Mr. Karen menemukan kata gombal di dalam kamus ter­sebut. Tetapi, dia terheran-heran setelah membaca makna kata itu. Gombal diartikan se­bagai “kain lusuh atau lama yang tidak lagi terpakai dan biasanya untuk alat bersih-bersih”.

Mr. Karen tampak semakin bingung apa relevansi makna kata itu dengan konteks obrolan kawan-kawannya tadi atau yang sering di­ucap­kan oleh orang Indonesia, teru­t­a­ma orang Jawa. Sebagai orang yang kebetulan suka meng­kaji fe­nomena kebahasaan dan be­r­­maksud menolong teman asing ini saya menjelaskan arti kata gombal tersebut. Seperti layaknya saya sedang men­je­laskan salah satu materi atau pokok bahasan dalam ma­ta­ku­liah sosiolinguistik, yakni slank, idiom, dan jargon serta­ register, saya me­ngawali penje­lasan dengan mengata­kan bahwa di setiap ma­sya­ra­kat penutur bahasa (speech com­munity) selalu ada ungka­pan bernilai lokal kul­tural yang mak­nanya sering jauh dari makna literal, se­ba­gaimana yang tertulis di kamus.

Dalam masyarakat modern yang berpenutur bahasa Ing­gris pun juga terdapat slank, jargon dan sejenisnya. Karena makna kata atau ung­ka­pan pada hakikatnya adalah hasil kon­vensi di antara ang­gota masyarakat penuturnya, maka setiap anggota penutur ba­hasa juga berhak mencip­ta­kan istilah, jargon atau ung­ka­pan ter­tentu sesuai kemauan me­reka sendiri untuk ke­pen­tingan komunikasi di antara mereka, termasuk kata gom­bal itu. Mr. Karen tampak ter­mangu-mangu dengan pen­je­lasan saya itu dan sepertinya tidak sabar menanti jawaban apa arti kata gombal itu.

Dalam masyarakat Jawa, kata gombal dipakai sebagai ung­kapan penyeru simpulan atau penilaian atas suatu mutu pembicaraan, barang, kinerja, karya dan sebagainya yang dipandang tidak berkualitas, tidak bermutu atau lembek yang tidak sesuai dengan harapan. Karena itu, kalau ada orang yang kinerja, prestasi dan karyanya tidak bagus bisa di­­katakan pula bahwa kinerja, pres­tasi dan karyanya gom­bal. Kalau kita masuk rumah ma­kan yang ke­li­ha­tan­nya bagus dan ternyata menu ma­ka­nannya tidak enak apalagi harganya tinggi, kita juga dapat me­nyebutnya se­ba­gai rumah makan gombal.

Dalam lingkungan kampus, kalau ada mahasiswa yang sikap dan pembicaraannya tidak berkualitas atau tidak ber­mutu bisa juga dikatakan se­bagai gombal. Kalau ada ma­hasiswa yang indeks pres­tasinya (IP) nya 0, 67 karena semua matakuliah yang di­pro­gram tidak lulus kecuali satu ma­takuliah dan itupun nilainya C (belakangan disadari oleh dosen­nya bahwa nilai C itu pun karena keliru memasukkannya karena sambil mengantuk saat me­nuliskan nilai), maka ma­ha­siswa ini pun juga bisa disebut se­bagai gombal kendati se­hari-hari berpakaian necis dengan celana jean dan sepatu ber­kualitas. Mungkin ma­hasiswa demikian lebih gom­bal ketimbang gombal se­hingga menjadi gombal su­wek. Sudah gombal dan ro­bek lagi sehingga tidak ada arti­nya sama sekali.

Tak terkecuali dosen. Kend­ati telah berpendidikan tinggi dan beberapa gelar akademik berjejer di depan dan belakang namanya, se­orang dosen bisa saja disebut se­bagai ….(wah saya tidak berani, he he ), jika ia tidak me­miliki komitmen dan integritas akademik tinggi yang ditunjukkan dengan karya atau tulisan-tulisan ilmiahnya, atau reputasi, kinerjanya.

“Wah demikian ya makna kata gombal ya pak” kata Mr. Karen sambil memegang kamus yang di dalamnya tidak ada penjelasan yang lengkap atas makna kata gombal itu. Saya jawab iya. Dan, karena itu mesti hati-hati mengartikan arti kata. “Terus, bagaimana awal mula kata gombal itu di­pa­kai da siapa yang mengawali menggunakannya pak? tanya Mr. Karen. Nah, kali ini saya sangat bingung menjawabnya. Sebab, pertanyaaan kapan dan di mana sebuah kata atau ung­ka­pan mulai digunakan dan siapa penggunanya meru­pa­kan sa­lah satu pertanyaan sulit da­lam ilmu kebahasaan atau li­ngu­­istik. Ini memerlukan pe­ne­li­tian filologis yang lumayan sulit.

Namun demikian, agar tidak me­­nge­cewakannya, saya jawab begini. “Seingat saya, sejak kecil saya sudah sering men­dengar kata gombal baik di lingkungan keluarga, ma­sya­rakat atau bahkan sekolah”. Di keluarga, nenek saya, mak­lum saya memang diasuh nenek sejak delapan bulan karena ke­buru punya adik lagi, yang da­lam masyarakat Jawa di­sebut kesundulan, nenek saya sering mengatakan saya ini gombal ketika saya me­rumput (Jawa: ngarit) setengah hari hanya memperoleh se­te­ngah keranjang karena saya selalu kalah main balangan (me­lempar sabit ke batas sawah atau galengan) karena me­lesat terlalu jauh sehingga rumput saya diambil yang me­nang. Maklum, saya memang paling kecil di antara teman-teman sepermainan, sehingga saya sering menjadi bahan gun­ji­ngan dan permainan mereka.

Di sekolah saya juga pernah di­katakan gombal oleh guru olahraga karena tim kasti saya kalah telak dengan tim kasti se­kolah desa tetangga. Yang mengherankan waktu itu kekalahan akibat hasil kerja tim yang tidak kompak dan lawan memang tangguh, yang dimarahi dan dikatakan gombal hanya saya. Padahal, saya bukan ketua tim. Kepada ketua tim, guru saya justru memberi semangat dengan mengatakan ”Gak apa-apa sekarang kalah, tetapi lain kali tidak boleh ya”. Karena itu, dalam hati saya mengatakan guru saya ini guru gombal, karena pilih kasih.

Tetapi, Mr. Karen, lanjut saya, di Indonesia ini memang ba­nyak gombal. Dalam dunia pendi­dikan, ada orang mempe­roleh gelar doktor dan bahkan pro­fesor hanya dalam waktu be­be­rapa bulan dengan mem­bayar beberapa juta rupiah. Aneh­nya peminat praktik gom­bal ini bukan dari golongan ma­sya­rakat awam, tapi anggota masyarakat terdidik dan bahkan para pejabat penting di negeri ini. Tanpa merasa malu apalagi salah, usai diwisuda di hotel dan tempat-tempat rekreasi, peserta langsung memasang gelar di depan atau belakang namanya. Be­berapa di antaranya meng­gu­na­kannya untuk kepentingan politik. Mr. Karen juga me­ngang­guk-angguk dengan pen­jelasan saya ini.

Mr. Karen bahkan menam­bah­kan ‘Iya ya, saya membaca koran lokal. Ada orang korupi milyaran dan bahkan trilyunan rupiah dengan enaknya berpesiar di luar negeri dan bahkan dapat menemui presiden di Istana Negara. Tetapi seorang pencuri se­ekor ayam untuk membayar SPP anaknya dan tertangkap ba­sah pemiliknya dihajar sampai ba­bak belur dan dibawa ke kan­tor polisi. Kasihan ya pak” lanjut Mr. Karen lagi.

Sambil tersipu malu, saya men­jawab” Ya memang prak­tik hukum di negeri ini masih gombal pak. Ada perbaikan dari periode pemerintahan se­be­lumnya, tetapi belum signi­fi­kan. Berbeda dengan di ne­geri anda yang sudah mapan” jawab saya sambil menghibur diri. Setelah itu obrolan dengan Mr. Karen berhenti karena pem­­bicara seminar yang di­tunggu telah datang dan Mr. Karen belum sempat meres­pons pernyataan saya.

Sambil bergegas masuk ruang se­minar, dalam batin saya berpikir obro­lan dengan Mr. Karen akan saya tulis dalam kolom GEMA, tabloid UIN Malang. Sebe­lum­masuk ke redaksi GEMA, se­orang kawan sempat membaca ko­lom ini dan berujar,”tentang gom­bal saja kok ditulis seperti ini pak”,! Saya sambil tersenyum dan berlalu.

Profesionalisme Guru

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU
Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Profesi dan Profesionalisasi Keguruan

Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[1] Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?

Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2] Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.

Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.[3]

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[4]

Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.

Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.

Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.

Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).

Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.

Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.

Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.

Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.[5]

Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.

Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.

Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.

Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?

Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali (reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah?

Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian. (di Sunting Ulang oleh:ZAENAL ABIDIN, SS,SPd)